Feb 28, 2022
Pembelajaran yang Tanggap Budaya (Culturally Responsive Teaching)
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan sejuta budaya. Kondisi alam yang beraneka ragam membuat masyarakat Indonesia memiliki pengalaman yang beragam pula dalam menjalani kesehariannya. Maka, sudah semestinya pendidikan di negeri ini bisa merangkul seluruh keragaman dengan memberikan pendidikan yang adil kepada setiap. Adil pada konteks ini adalah dengan memberikan pendidikan sesuai dengan haknya melalui proses pembelajaran yang tanggap budaya. Pembelajaran yang tanggap budaya atau yang juga dikenal dengan istilah Culturally Responsive Teaching (CRT) adalah suatu metode pembelajaran yang berfokus pada adanya persamaan hak setiap peserta didik untuk mendapatkan pengajaran tanpa membedakan latar belakang budaya mereka. Dalam dunia pendidikan pembelajaran tanggap budaya adalah model pendidikan teoritis yang tidak hanya bertujuan meningkatkan prestasi peserta didik, tetapi juga membantu peserta didik menerima dan memperkokoh identitas budayanya. Menurut Ladson-Billing (1995) terdapat tiga proposisi pendidikan tanggap budaya, yakni:
peserta didik mencapai kesuksesan akademis
peserta didik mampu mengembangkan dan memiliki kompetensi budaya (cultural competence), serta
peserta didik membangun kesadaran kritis (critical consciousness) sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam merombak tatanan sosial yang tidak adil.
Dalam pandangan Gay (2002) terdapat lima elemen esensial dalam pendidikan tanggap budaya, yakni “developing a knowledge base about cultural diversity, including ethnic and cultural diversity content in the curriculum, demonstrating caring and building learning communities, communicating with ethnically diverse students, and responding to ethnic diversity in the delivery of instruction”.
Setidaknya terdapat lima panduan atau prinsip aplikasi pendidikan tanggap budaya, yaitu (1) pentingnya budaya, (2) pengetahuan terbentuk sebagai bagian dari konstruksi sosial, (3) inklusivitas budaya, (4) prestasi akademis tidak terbatas pada dimensi intelektual an sich, serta (5) keseimbangan dan keterpaduan antara kesatuan dan keragaman (Greer, et.al., 2009). Villegas dan Lucas (2002) ketika membahas mengenai karakteristik guru tanggap budaya mengungkap enam karakteristiknya, antara lain:
mempunyai kesadaran sosio-kultural,
mempunyai afirmasi terhadap keragaman latar belakang peserta didik,
mempunyai kepercayaan diri dalam mengemban tugas,
memahami bagaimana peserta didik mengkonstruksi pengetahuan dan mendorong peserta didik mengembangkan konstruksi pengetahuannya sendiri,
mengetahui pola hidup peserta didik, dan
menggunakan informasi mengenai pola hidup peserta didik untuk mendesain pembelajaran yang bermakna (Villegas dan Lucas, 2002).
Dengan demikian, pendidikan guru tanggap budaya tidak hanya bertujuan membekali guru untuk menyadari, menghormati dan mengakui kenyataan bahwa terdapat keragaman budaya atau nilai berbeda pada peserta didik yang berasal dari latar belakang suku,agama, bahasa, dan etnis berbeda, tetapi juga mempunyai pengetahuan lebih mendalam mengenai sisi-sisi khusus atau keunikan dari budaya peserta didik dan menggunakannya sebagai titik berangkat dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran (Gay, 2002).
